Minggu, 21 Oktober 2012

Substansi Dari Film Inception

Saya sangat yakin jika pertanyaan ini diajukan kepada Mr. Nolan sang sutradara, dia pun tidak akan menjawab lugas. Dia akan berdalih menyerahkan jawaban itu kepada penonton. Dia memang sengaja membuat penonton menjadi berfikir, menganalisa dan menonton film ini lagi berulang kali untuk mencari jawaban tersebut. Dia tidak akan membuat ini menjadi mudah! Kerena itu lah saya menganggap ini film cerdas dan tentu saja menghibur. Lebih jauh lagi penonton bisa mengambil pelajaran berharga tentang hakikat kehidupan.
Info bagi yang belum menyaksikan Inception. Film ini bercerita tentang sekelompok orang yang memiliki keahlian masuk ke dalam pikiran dan menanamkan atau mencuri ide orang lain melalui alam mimpi. Tidak hanya itu, mereka juga mendesain landscape, gedung, furniture, mengisi peran dan menyusun skenario dalam mimpi sang target. Tujuannya agar sang target tidak menyadari bahwa sedang bermimpi dan pada akhirnya tim ini berhasil mencuri atau memasukan ide kepada korbannya. Dom Cobb (Leonardo diCaprio) berperan sebagai pemimpin grup.
Pekerjaan itu tidak “seindah” yang dibayangkan, kerena alam mimpi orang sering tidak terduga. Kadang terjadi hal-hal yang brutal dan sadis sehingga membuat tim harus pontang-panting menyelematkan diri di alam tersebut sambil tetap berusaha menyelesaikan misi. Jika tewas di alam mimpi maka mereka akan terbangun dari tidur dan kembali ke alam nyata. Namun mereka tidak boleh terbangun sebelum misi tercapai.
Lalu bagaimana jika misi tidak dapat atau sulit dicapai? Cobb cs akan membuat sang target dan tim-nya memulai mimpi baru lagi. Ya! Mimpi dalam mimpi. Bahkan mimpi ini bisa bertingkat-tingkat. Makin dalam mimpi maka konsep waktu akan semakin berbeda. Satu menit di alam nyata bisa menjadi satu jam di mimpi tingkat pertama, dan bisa menjadi bertahun-tahun pada mimpi terdalam. Risikonya, salah-salah bisa terjebak ke alam antah berantah yang dikenal dengan ‘limbo’.
Ketika menonton film ini saya teringat bermacam teori tentang mimpi, salah satu karya ilmiah yang pernah saya baca, judulnya “Tafsir Mimpi” terjemahan “Interpretation of Dreams” (Sigmund Freud, 1900). Sebagaimana diketahui Freud adalah pakar psikoanalisis dan dia seorang materialis tulen. Baginya mimpi bukanlah suatu ilham dari yang gaib tapi lebih merupakan manifestasi dari diri si pemimpi itu sendiri berdasarkan karakter/sifat, pengalaman dan memori alam bawah sadar. Freud tidak percaya ‘tahyul’ sama seperti Darwin yang tidak percaya bahwa alam semesta dan seluruh isinya merupakan penciptaan dan menganggap semua itu hanya sebuah kejadian yang tanpa disengaja melalui proses yang panjang yang hingga kini banyak orang percaya dengan teorinya: evolution. Jadi buku Freud ini dan karya sejenisnya mewakili pandangan barat tentang mimpi.
Mari berpikir kritis!
Kembali pada perdebatan di awal. Menurut saya Christopher Nolan yang juga bertidak sebagai penulis skenario sepertinya tidak terlalu tertarik dengan perdebatan soal ending film Inception diatas. Namun lebih ‘dalam’ lagi seperti yang tampak pada cerita dan dialog di film ini, dia ingin menantang kita berfikir tentang “apakah kehidupan ini nyata?” atau “apakah kehidupan ini hanya mimpi atau fatamorgana saja?”. Itu sebabnya dia menutup film itu dengan masih berputarnya token. Ini adalah pertanyaan yang menarik bagi saya, mengingat Nolan adalah bagian dari masyarakat barat yang liberal. Pertanyaan ini tentu saja sangat filosofis dan menggugah kita untuk memahami arti kehidupan sesungguhnya.
Mungkin agak aneh jika saya mengatakan bahwa film Inception mempresentasikan beberapa pertanyaan berkaitan dengan misteri kehidupan ini dan tentu saja berkaitan pula dengan keimanan.
Jadi… apakah kehidupan ini nyata? Baik, jangan keburu skeptis. Mari kita sedikit lebih menyelam…
Poin satu: Proyeksi.
Ariadne : siapa orang-orang ini?
Cobb     : mereka adalah proyeksi alam bawah sadarku. )*
Apa perbedaan mimpi dan nyata? Selama bermimpi kita hampir tidak bisa membedakannya. Kita kemudian menyadarinya pada saat terjaga. Dalam mimpi kita bisa merasakan: sakitnya dipukul, marah jika dikhianati, lezatnya makanan di restaurant maya, nikmatnya bersenggama hingga mengalami apa yang disebut mimpi basah. Jadi hampir tidak ada bedanya dengan apa yang selama ini kita anggap nyata. Memang kadangkala muncul objek-objek janggal seperti gedung terbalik, atau objek yang selama ini hanya ada pada lukisan surealis. Namun dalam mimpi hal itu terabaikan. Dalam kehidupan “nyata” kita juga sebenarnya melihat banyak sekali kejanggalan, namun kerena kita sudah terbiasa jadi hal itu kita abaikan dan kita terima sebagai sesuatu yang wajar. Contoh sederhana saja: awan yang menggantung, teraturnya tata surya, setetes air hina yang berubah menjadi manusia, dan lain sebagainya. Maha besar Allah.
Dalam film Inception dijelaskan bahwa objek-objek selain pemimpi adalah proyeksi atau hanya persepsi. Orang-orang yang berjalan di trotoar, toko buku, restoran, gunung salju, tangga penrose, cermin besar, gedung terbalik, kotak rahasia, semua adalah proyeksi. Lalu siapa yang menjamin bahwa sesuatu yang kita lihat dan rasakan dalam dunia yang kita anggap nyata bukan sebagai proyeksi? Jika Anda anggap ini omong kosong, pikirkan kembali!
R.L. Gregory:  “Kita begitu terbiasa dengan melihat sehingga diperlukan lompatan imajinasi untuk menyadari bahwa terdapat kerumitan di balik ini. Tetapi cobalah pikirkan hal ini. Mata kita diberi citra kecil dan terbalik, dan kita melihat benda-benda nyata di sekitar kita. Dari pola simulasi pada retina mata inilah kita memahami dunia benda, dan ini adalah suatu keajaiban.”
Filsuf terkemuka George Berkeley mengatakan:  “Kita mempercayai keberadaan objek-objek hanya karena kita melihat dan menyentuhnya, dan objek-objek ini direfleksikan kepada kita oleh persepsi kita. Akan tetapi, persepsi kita hanya-lah ide-ide di dalam otak. Oleh karena itu, objek yang kita tangkap dengan persepsi tidak lain hanya ide-ide, dan ide-ide ini pada dasarnya hanya ada di dalam pikiran kita sendiri…. Karena semua ini hanya ada di dalam pikiran, berarti kita telah tertipu ketika membayangkan bahwa alam semesta dan segala sesuatu memiliki eksistensi di luar pikiran kita. Jadi tidak ada sesuatu pun di sekeliling kita yang memiliki eksistensi di luar pikiran kita.”
Filsuf Inggris terkemuka, David Hume mengungkapkan :“Sejujurnya, ketika saya menempatkan diri pada apa yang saya sebut ‘diri sendiri’, saya selalu mengakui persepsi tertentu yang berhubungan dengan panas atau dingin, terang atau gelap, cinta atau benci, asam atau manis atau konsep-konsep lainnya. Tanpa keberadaan persepsi, saya tidak pernah dapat menemukan diri sendiri pada waktu tertentu dan saya tidak dapat mengamati apa pun .”
Imam Rabbani menulis di dalam Maktubah (suratnya): “Allah… Substansi semua wujud yang Dia ciptakan tak lain dari kehampaan… Ia menciptakan semuanya dalam tataran indra dan ilusi… Eksistensi alam semesta berada di dalam tataran indra dan ilusi, dan bukan materi… Sesungguhnya, di luar itu tidak ada apa-apa kecuali Wujud Yang Agung (yaitu Allah).”
Allah berfirman : “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadiid,57,:20)
Bila kehidupan dunia ini adalah suatu permainan maka pasti ada aturan dalam permainan tersebut. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Apa yang diambil dan apa yang dihindari. Siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Siapa yang akan menang? Saya tidak akan menggurui Anda. Kerena sudah pasti yang menang adalah yang banyak mengambil point kebaikan dan mendapatkannya sesuai aturan permainan. Dan jika betul apa yang ada kita indera ini hanyalah kesenangan yang menipu (proyeksi), lalu mengapa kita bisa begitu mencintainya (dunia)? Ternyata semua itu sudah “diprogram” oleh sang Pencipta.
Allah berfirman : “Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali ‘Imran, 3: 14)
Poin kedua: Relativitas waktu.
Cobb     : Seminggu pada level pertama, enam bulan pada level kedua, dan ketiga…
Ariadne : sepuluh tahun…! Siapa yang ingin terjebak dalam mimpi sepuluh tahun?
Yusuf     : Tergantung mimpinya…)*
Suatu hari di tahun 2007 saya berdiskusi dengan seorang teman tentang relativitas waktu dalam mimpi. Dia bercerita semasa kecil pernah bermimpi tentang hujan yang lebat. Dia mengatakan bahwa dalam mimpi itu dia berlarian di tengah derasnya hujan. Dan sampai akhirnya dia terjaga, dia baru menyadari ternyata ibunya yang memercikan air ke wajahnya untuk membangunkannya. Kalau tidak ada relativitas waktu hal ini mustahil. Kerena secara akal dia tidak akan sempat bermimpi kerena cipratan air itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Namun kerena ada relativitas waktu, maka dia sempat merasakan pemandangan hujan, berlarian dan bahkan mungkin ketakutan dalam mimpinya. Kasus-kasus menarik tentang jenis mimpi banyak diulas di buku Freud. Dan juga di film Inception, tentunya…
Teori relativitas waktu sendiri sejak 15 abad yang lampau sudah banyak diceritakan dalam Al Quran. Sesuatu yang bertahun-tahun tidak bisa diterima akal kecuali dengan iman. Antara lain kisah “ashabul kahfi” yaitu para penghuni gua yang tidur selama ratusan tahun dan peristiwa Isra Mi’raz Nabi Muhammad SAW. Namun dengan pengetahuan tentang adanya relativitas waktu saat ini maka cerita ini menjadi bisa diterima akal dan iman.
Nabi Muhammad SAW dalam Isra Mi’raz diperjalankan dari Masjidil Haram (Mekah) ke Masjidil Aqsa (Palestina) kemudian dilanjutkan ke Sidratul Muntaha atau yang kita sering dengar: langit tingkat tujuh (jika dianalogikan dengan mimpi maka kita tujuh level di bawah tempat yang benar-benar nyata itu, dibanding menggunakan istilah langit, ini akan lebih mudah dibayangkan, bukan?), kemudian dikembalikan lagi ke Mekah yang kesemuanya ini dilakukan tak lebih dari satu malam. Bagi kita yang dalam posisi di alam mimpi tingkat terdalam ini (kehidupan yang kita anggap nyata) tentu saja berbeda dengan keadaan nyata (alam yang sesungguhnya) di sisi Allah. Maka secara akal dan iman hal ini adalah benar adanya. Walahualam, Hanya Allah yang maha mengetahui.
Allah bertanya: “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab: “Kami tinggal sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung”. Allah berfirman: “Kamu tidak tinggal melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui.(QS.Al Mu’minuun,23: 112-114)
Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; “mereka tidak berdiam melainkan sesaat”. Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan.(QS.Ar-Rum,30: 55)
Dibawah ini adalah 2 ayat yang sering dijadikan senjata para ahli kitab dalam menyerang Al-Qur’an kerena mereka menganggap ada pertentangan jumlah waktu. Padahal jika kita kembalikan pada logika tentang “langit tingkat tujuh” tadi maka hal ini bukanlah suatu pertentangan. Kerena dimensi dan konteknya berbeda. Pada Surat Al Ma’arij perbandingan dimensi alam para malaikat dengan alam dunia, sedang pada surat Al Hajj dimensinya adalah alam kubur (azab=kematian). Walahualam. Hanya Allah yang maha tahu.
QS Al Ma’arij (70) : 4, “Naik malaikat dan ruh kepadaNya dalam waktu sehari yang kadarnya 50.000 tahun.”
QS Al Hajj (22) : 47, “Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali. kali tidak akan menyalahi janji Nya Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.”

Tiada lah apa yang diketahui manusia, kecuali sedikit. Hanya Allah yang maha tahu.

credit to : http://irwanbudiman.wordpress.com/tag/inception/

Tidak ada komentar: