Info bagi yang belum
menyaksikan Inception. Film ini bercerita tentang sekelompok orang yang
memiliki keahlian masuk ke dalam pikiran dan menanamkan atau mencuri ide orang
lain melalui alam mimpi. Tidak hanya itu, mereka juga mendesain landscape,
gedung, furniture, mengisi peran dan menyusun skenario dalam mimpi sang target.
Tujuannya agar sang target tidak menyadari bahwa sedang bermimpi dan pada
akhirnya tim ini berhasil mencuri atau memasukan ide kepada korbannya. Dom Cobb
(Leonardo diCaprio) berperan sebagai pemimpin grup.
Pekerjaan itu tidak
“seindah” yang dibayangkan, kerena alam mimpi orang sering tidak terduga.
Kadang terjadi hal-hal yang brutal dan sadis sehingga membuat tim harus
pontang-panting menyelematkan diri di alam tersebut sambil tetap berusaha
menyelesaikan misi. Jika tewas di alam mimpi maka mereka akan terbangun dari
tidur dan kembali ke alam nyata. Namun mereka tidak boleh terbangun sebelum
misi tercapai.
Lalu bagaimana jika misi
tidak dapat atau sulit dicapai? Cobb cs akan membuat sang target dan tim-nya
memulai mimpi baru lagi. Ya! Mimpi dalam mimpi. Bahkan mimpi ini bisa
bertingkat-tingkat. Makin dalam mimpi maka konsep waktu akan semakin berbeda.
Satu menit di alam nyata bisa menjadi satu jam di mimpi tingkat pertama, dan
bisa menjadi bertahun-tahun pada mimpi terdalam. Risikonya, salah-salah bisa
terjebak ke alam antah berantah yang dikenal dengan ‘limbo’.
Ketika menonton film ini
saya teringat bermacam teori tentang mimpi, salah satu karya ilmiah yang pernah
saya baca, judulnya “Tafsir Mimpi” terjemahan “Interpretation of Dreams” (Sigmund Freud,
1900). Sebagaimana diketahui Freud adalah pakar psikoanalisis dan dia seorang
materialis tulen. Baginya mimpi bukanlah suatu ilham dari yang gaib tapi lebih
merupakan manifestasi dari diri si pemimpi itu sendiri berdasarkan karakter/sifat,
pengalaman dan memori alam bawah sadar. Freud tidak percaya ‘tahyul’ sama
seperti Darwin yang tidak percaya bahwa alam semesta dan seluruh isinya
merupakan penciptaan dan menganggap semua itu hanya sebuah kejadian yang tanpa
disengaja melalui proses yang panjang yang hingga kini banyak orang percaya
dengan teorinya: evolution.
Jadi buku Freud ini dan karya sejenisnya mewakili pandangan barat tentang
mimpi.
Mari berpikir kritis!
Kembali pada perdebatan di
awal. Menurut saya Christopher Nolan yang juga bertidak sebagai penulis
skenario sepertinya tidak terlalu tertarik dengan perdebatan soal ending film
Inception diatas. Namun lebih ‘dalam’ lagi seperti yang tampak pada cerita dan dialog
di film ini, dia ingin menantang kita berfikir tentang “apakah kehidupan ini
nyata?” atau “apakah kehidupan ini hanya mimpi atau fatamorgana saja?”. Itu
sebabnya dia menutup film itu dengan masih berputarnya token. Ini adalah
pertanyaan yang menarik bagi saya, mengingat Nolan adalah bagian dari
masyarakat barat yang liberal. Pertanyaan ini tentu saja sangat filosofis dan
menggugah kita untuk memahami arti kehidupan sesungguhnya.
Mungkin agak aneh jika saya
mengatakan bahwa film Inception mempresentasikan beberapa pertanyaan berkaitan
dengan misteri kehidupan ini dan tentu saja berkaitan pula dengan keimanan.
Jadi… apakah kehidupan ini
nyata? Baik, jangan keburu skeptis. Mari kita sedikit lebih menyelam…
Poin satu: Proyeksi.
Ariadne
: siapa orang-orang ini?
Cobb : mereka adalah proyeksi alam bawah sadarku. )*
Cobb : mereka adalah proyeksi alam bawah sadarku. )*
Apa perbedaan mimpi dan
nyata? Selama bermimpi kita hampir tidak bisa membedakannya. Kita kemudian
menyadarinya pada saat terjaga. Dalam mimpi kita bisa merasakan: sakitnya
dipukul, marah jika dikhianati, lezatnya makanan di restaurant maya, nikmatnya
bersenggama hingga mengalami apa yang disebut mimpi basah. Jadi hampir tidak
ada bedanya dengan apa yang selama ini kita anggap nyata. Memang kadangkala
muncul objek-objek janggal seperti gedung terbalik, atau objek yang selama ini
hanya ada pada lukisan surealis. Namun dalam mimpi hal itu terabaikan. Dalam
kehidupan “nyata” kita juga sebenarnya melihat banyak sekali kejanggalan, namun
kerena kita sudah terbiasa jadi hal itu kita abaikan dan kita terima sebagai
sesuatu yang wajar. Contoh sederhana saja: awan yang menggantung, teraturnya
tata surya, setetes air hina yang berubah menjadi manusia, dan lain sebagainya.
Maha besar Allah.
Dalam film Inception
dijelaskan bahwa objek-objek selain pemimpi adalah proyeksi atau hanya
persepsi. Orang-orang yang berjalan di trotoar, toko buku, restoran, gunung
salju, tangga penrose, cermin besar, gedung terbalik, kotak rahasia, semua
adalah proyeksi. Lalu siapa yang menjamin bahwa sesuatu yang kita lihat dan rasakan
dalam dunia yang kita anggap nyata bukan sebagai proyeksi? Jika Anda anggap ini
omong kosong, pikirkan kembali!
R.L. Gregory: “Kita begitu terbiasa
dengan melihat sehingga diperlukan lompatan imajinasi untuk menyadari bahwa
terdapat kerumitan di balik ini. Tetapi cobalah pikirkan hal ini. Mata kita
diberi citra kecil dan terbalik, dan kita melihat benda-benda nyata di sekitar
kita. Dari pola simulasi pada retina mata inilah kita memahami dunia benda, dan
ini adalah suatu keajaiban.”
Filsuf terkemuka George
Berkeley mengatakan: “Kita mempercayai keberadaan objek-objek hanya karena kita
melihat dan menyentuhnya, dan objek-objek ini direfleksikan kepada kita oleh
persepsi kita. Akan tetapi, persepsi kita hanya-lah ide-ide di dalam otak. Oleh
karena itu, objek yang kita tangkap dengan persepsi tidak lain hanya ide-ide,
dan ide-ide ini pada dasarnya hanya ada di dalam pikiran kita sendiri…. Karena
semua ini hanya ada di dalam pikiran, berarti kita telah tertipu ketika
membayangkan bahwa alam semesta dan segala sesuatu memiliki eksistensi di luar
pikiran kita. Jadi tidak ada sesuatu pun di sekeliling kita yang memiliki
eksistensi di luar pikiran kita.”
Filsuf Inggris terkemuka,
David Hume mengungkapkan :“Sejujurnya, ketika saya menempatkan diri pada apa yang saya
sebut ‘diri sendiri’, saya selalu mengakui persepsi tertentu yang berhubungan
dengan panas atau dingin, terang atau gelap, cinta atau benci, asam atau manis
atau konsep-konsep lainnya. Tanpa keberadaan persepsi, saya tidak pernah dapat
menemukan diri sendiri pada waktu tertentu dan saya tidak dapat mengamati apa
pun .”
Imam Rabbani menulis di
dalam Maktubah (suratnya): “Allah… Substansi semua wujud yang Dia
ciptakan tak lain dari kehampaan… Ia menciptakan semuanya dalam tataran indra
dan ilusi… Eksistensi alam semesta berada di dalam tataran indra dan ilusi, dan
bukan materi… Sesungguhnya, di luar itu tidak ada apa-apa kecuali Wujud Yang
Agung (yaitu Allah).”
Allah berfirman : “Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,
perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para
petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab yang keras dan ampunan dari
Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadiid,57,:20)
Bila kehidupan dunia ini
adalah suatu permainan maka pasti ada aturan dalam permainan tersebut. Apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Apa yang diambil dan apa yang
dihindari. Siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Siapa yang akan
menang? Saya tidak akan menggurui Anda. Kerena sudah pasti yang menang adalah
yang banyak mengambil point kebaikan dan mendapatkannya sesuai aturan
permainan. Dan jika betul apa yang ada kita indera ini hanyalah kesenangan yang
menipu (proyeksi), lalu mengapa kita bisa begitu mencintainya (dunia)? Ternyata
semua itu sudah “diprogram” oleh sang Pencipta.
Allah berfirman : “Dijadikan indah pada
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia,
dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali ‘Imran, 3: 14)
Poin kedua: Relativitas waktu.
Cobb
: Seminggu pada level pertama, enam bulan pada level kedua, dan ketiga…
Ariadne : sepuluh tahun…! Siapa yang ingin terjebak dalam mimpi sepuluh tahun?
Yusuf : Tergantung mimpinya…)*
Ariadne : sepuluh tahun…! Siapa yang ingin terjebak dalam mimpi sepuluh tahun?
Yusuf : Tergantung mimpinya…)*
Suatu hari di tahun 2007
saya berdiskusi dengan seorang teman tentang relativitas waktu dalam mimpi. Dia
bercerita semasa kecil pernah bermimpi tentang hujan yang lebat. Dia mengatakan
bahwa dalam mimpi itu dia berlarian di tengah derasnya hujan. Dan sampai
akhirnya dia terjaga, dia baru menyadari ternyata ibunya yang memercikan air ke
wajahnya untuk membangunkannya. Kalau tidak ada relativitas waktu hal ini
mustahil. Kerena secara akal dia tidak akan sempat bermimpi kerena cipratan air
itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Namun kerena ada relativitas waktu,
maka dia sempat merasakan pemandangan hujan, berlarian dan bahkan mungkin
ketakutan dalam mimpinya. Kasus-kasus menarik tentang jenis mimpi banyak diulas
di buku Freud. Dan juga di film Inception, tentunya…
Teori relativitas waktu sendiri
sejak 15 abad yang lampau sudah banyak diceritakan dalam Al Quran. Sesuatu yang
bertahun-tahun tidak bisa diterima akal kecuali dengan iman. Antara lain kisah
“ashabul kahfi” yaitu para penghuni gua yang tidur selama ratusan tahun dan
peristiwa Isra Mi’raz Nabi Muhammad SAW. Namun dengan pengetahuan tentang
adanya relativitas waktu saat ini maka cerita ini menjadi bisa diterima akal dan iman.
Nabi Muhammad SAW dalam Isra
Mi’raz diperjalankan dari Masjidil Haram (Mekah) ke Masjidil Aqsa (Palestina)
kemudian dilanjutkan ke Sidratul Muntaha atau yang kita sering dengar: langit
tingkat tujuh (jika dianalogikan dengan mimpi maka kita tujuh level di bawah
tempat yang benar-benar nyata itu, dibanding menggunakan istilah langit, ini
akan lebih mudah dibayangkan, bukan?), kemudian dikembalikan lagi ke Mekah yang
kesemuanya ini dilakukan tak lebih dari satu malam. Bagi kita yang dalam posisi
di alam mimpi tingkat terdalam ini (kehidupan yang kita anggap nyata) tentu
saja berbeda dengan keadaan nyata (alam yang sesungguhnya) di sisi Allah. Maka
secara akal dan iman hal ini adalah benar adanya. Walahualam, Hanya Allah yang
maha mengetahui.
Allah
bertanya: “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab:
“Kami tinggal sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang
yang menghitung”. Allah berfirman: “Kamu tidak tinggal melainkan sebentar saja,
kalau kamu sesungguhnya mengetahui.(QS.Al Mu’minuun,23: 112-114)
Dan
pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; “mereka
tidak berdiam melainkan sesaat”. Seperti demikianlah mereka selalu
dipalingkan.(QS.Ar-Rum,30: 55)
Dibawah ini adalah 2 ayat
yang sering dijadikan senjata para ahli kitab dalam menyerang Al-Qur’an kerena
mereka menganggap ada pertentangan jumlah waktu. Padahal jika kita kembalikan
pada logika tentang “langit tingkat tujuh” tadi maka hal ini bukanlah suatu
pertentangan. Kerena dimensi dan konteknya berbeda. Pada Surat Al Ma’arij
perbandingan dimensi alam para malaikat dengan alam dunia, sedang pada surat Al
Hajj dimensinya adalah alam kubur (azab=kematian). Walahualam. Hanya Allah yang
maha tahu.
QS Al Ma’arij (70) : 4, “Naik malaikat dan ruh
kepadaNya dalam waktu sehari yang kadarnya 50.000 tahun.”
QS Al Hajj (22) : 47, “Dan mereka meminta
kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali. kali tidak akan
menyalahi janji Nya Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu
tahun menurut perhitunganmu.”
Tiada lah apa yang diketahui
manusia, kecuali sedikit. Hanya Allah yang maha tahu.
credit to : http://irwanbudiman.wordpress.com/tag/inception/
credit to : http://irwanbudiman.wordpress.com/tag/inception/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar